Jumat, 17 April 2015
Minggu, 01 Maret 2015
Etika Berbahasa
Etika Berbahasa
Bahasa merupakan perkataan-perkataan yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran. Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai aturan-aturan tertentu yang disesuaikan dengan situasi dan komunikan yang menggunakannya.
Perilaku berbahasa seseorang dapat dijadikan tolok ukur keberadaban suatu bangsa. Pepatah mengatakan bahasa adalah cerminan pribadi seseorang, karena melalui tutur kata kita dapat menilai pribadi seseorang.
Tutur kata yang baik, lemah lembut, dan sopan-santun yang dilakukan seseorang mencerminkan sebagai pribadi yang baik dan berbudi. Sebaliknya, apabila perkataan seseorang buruk, citraan buruklah yang akan melekat kepada pribadi orang tersebut.
Kenapa demikian? Karena bahasa juga dapat menjadi alat kekerasan verbal yang terwujud dalam tutur kata seperti memaki, memfitnah, menghasut, menghina, dan lain sebagainya. Hal itu akan berdampak negatif terhadap perilaku seseorang seperti permusuhan, perkelahian, aksi anarkisme, provokasi, dan sebagainya.
Di dalam bahasa Indonesia kita mengenal eufemisme yaitu gaya bahasa pelembut dengan cara menggantikan kata-kata dengan kata lain yang lebih sesuai dan tidak menyinggung perasaan. Contohnya dalam kalimat “Di mana tempat kencingnya?” diganti dengan “Di mana kamar kecilnya?”. Kata “tempat kencing” (dalam bahasa sehari-hari biasa juga disebut WC) tidak cocok jika akan digunakan untuk percakapan di muka umum karena terkesan vulgar.
Kita tahu, sebagus apa pun, WC tetap berkonotasi jorok. Kata kamar kecil dapat menggantikannya. Kata kamar kecil ini konotasinya lebih sopan daripada kata tempat kencing. Jadi, dalam eufemisme terjadi pergantian nilai rasa dalam percakapan dari kurang sopan menjadi lebih sopan.
Beberapa waktu yang lalu santer perdebatan mengenai kasus bailout Bank Century. Ada anggota DPR yang notabene terhormat sering menggunakan intonasi yang tinggi sehingga terkesan saling mencaki-maki satu sama lainnya. Bahkan, Ruhut Sitompul dan Gayus Lumbuun dalam perang mulut menggunakan kata-kata yang tidak pantas (kasar) sehingga memberi kesan buruk bagi masyarakat.
Dalam bahasa Sunda, ada yang disebut dengan undak usuk bahasa (tingkatan) yang digunakan dalam komunikasi sesama pengguna bahasa. Tingkatan tersebut meliputi, pertama, bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang tua atau orang yang lebih tua. Kedua, bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan sesama/setara (usia). Ketiga, bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan yang lebih muda. Ketiga tingkatan itu merupakan tatanan yang tidak bisa diabaikan begitu saja karena di dalamnya terdapat sebuah nilai norma yang mengikat.
Sejalan dengan hal itu, Allah berfirman dalam surat Al Qalam: 10-11, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi menghina. Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah”.
Demikian juga Rasulullah saw. bersabda (dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari), “Orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya berkata baik jika tidak bisa lebih baik diam”.
Dalam hadis lain, Rasulllah mengatakan, “Orang yang disebut muslim adalah orang yang bisa menjaga tangannya dan lisannya.” Sempurnanya ajaran Islam, etika dalam berbahasa pun diaturnya dengan lugas.
Anjuran di atas juga relevan dengan pepatah lama yang mengatakan bahwa lidah itu tak bertulang. Lidah itu memang lunak. Oleh karena itu, orang yang lemah pun bisa bersilat lidah. Lidah itu lebih tajam dari pedang. Jika luka tersayat oleh pedang tidaklah susah untuk mengobatinya, tetapi kalau luka hati tersayat oleh kata-kata, hendak ke mana kita mencari penawarnya?
Begitupun dengan ungkapan mulutmu harimaumu–segala perkataan yang telanjur kita keluarkan apabila tidak dipikirkan dahulu akan dapat merugikan diri sendiri. Apalagi kata-kata itu berisi kebohongan yang dapat menimbulkan fitnah.
Peribahasa mengatakan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, menunjukkan begitu dahsyatnya kata-kata yang diucapkan sehingga lebih buruk dari menghilangkan nyawa sekalipun. Berapa banyak persaudaraaan yang terputus karena tikaman lidah.
Sebagai bangsa yang beradab sudah semestinya kita menjaga perilaku berbahasa baik dalam situasi formal maupun informal yang mampu menciptakan suasana komunikasi yang baik sehingga mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Langganan:
Postingan (Atom)